TIMES TULUNGAGUNG, MALANG – Seperti biasa, sekitar jam 7 pagi. Mbah Sumiati (65) menyiapkan sepeda onthelnya dan dagangan jamunya. Terakhir, diambilnya topi caping miliknya. Topi caping di kepalanya itu, jadi penanda bahwa dia dan sepedanya siap untuk menjajakan jamu gendong miliknya.
Dulu, tahun sekitar 1989, ia hanya menggunakan dua kakinya, jualan dari desa Bolorejo sampai desa Kromengan, di Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang. Sekitar jam 11 siang, biasanya jamu gendongnya habis terjual.
Sumiati mengaku beruntung saat itu, tak lebih 4 jam, jamunya terjual habis meski hasilnya tak seberapa. Dengan modal bahan baku atau rempah yang sangat murah saat itu, Sumiati bisa untung sekitar Rp10ribu sampai Rp11ribu per hari. Ia menjual segelas jamu rp500 sampai Rp1.000.
Dapat ilmu dari pelatihan buat jamu
Tahun 1988, sebelumnya memutuskan jual jamu, Sumiati pernah ikut pelatihan jamu gratis di Kota Batu. Cara membuat jamu mulai dari pengeringan sampai produksi diajarkan di sana.
Sempat ia dapat cercaan dari sebagian peserta karena kemampuan baca tulis yang minim. “Ancen ibuk iki kuno (Memang ibu ini ketinggalan zaman.red),” kata Sumiati saat mengingat kata cercaan itu.
Mungkin keterbatasan itu yang membuat Sumiati banyak belajar. Pelatihan itu jadi modal penting untuk berjualan jamu di sela waktu luangnya. Sesekali dia juga mengambil pekerjaan sebagai buruh tani saat itu.
Jadi pekerjaan tetap
Dengan berjalannya waktu, tuntutan ekonomi mendorong Sumiati untuk menjual jamu sebagai mata pencaharian tetapnya. Biaya sekolah dua putrinya salah satu alasannya. Meski tak seberapa hasilnya, ia tabung sebagian keuntungan dan bisa buat beli sepatu, seragam, dan buku anaknya.
“Ndikek kerjoan jek angel. Dadi sakisone gawe ngehidupi keluarga. Dodolan sekirane enak ya diterusne (Dulu kerjaan masih susah. Jadi sebisanya buat menghidupi keluarga. Jualan kalau enak ya diteruskan.red),” ungkapnya.
Sumiati pernah merasakan bagaimana gundahnya saat sekolah menuntut kedua anaknya harus punya seragam Pramuka dan ia tidak mampu membelinya. Bayar sekolah pun kadang ia dan suaminya minta keringangan untuk bisa dicicil. Apalagi bila saat lebaran tiba.
Tetap bersyukur
Dengan segala keterbatasan yang ada saat itu, Sumiati tetap bersyukur. Semangatnya tak pernah pudar untuk tetap mencukupi kebutuhan keluarganya. Ia tidak pernah putus asa mencari rezeki meski ia dan suaminya hanya mampu menyekolahkan kedua putrinya sampai jenjang SMP saja.
Meski waktu dan zaman terus berubah, cita rasa jamu gendongan miliknya ternyata tidak pernah berubah. Di usia tuanya, Sumiati masih tetap setia dengan jamu Gendong. Ia jaga dan turunkan ilmunya kepada anaknya. Cita rasa khas jamu gendong Sumiati kini mulai turun ke anaknya.
Anaknya kini ikut menjajakan jamu ibunya setiap pagi.
Sumiati berharap, dengan kreativitas dan inovasi, anaknya mampu menjual jamu Gendong dengan keuntungan 10 kali atau 100 kali lipat dibandingkan keuntungan Rp11 ribu sehari saat ia berjualan jamu.
Ia berharap jamu Gendong akan tetap eksis selamanya dan bisa dijadikan sandaran anak dan banyak orang untuk hidup sejahtera.
Semoga harapan Mbah Sumiati itu bisa tercapai...
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Sebuah Asa Jamu Gendong Mbah Sumiati
Pewarta | : |
Editor | : Faizal R Arief |