https://tulungagung.times.co.id/
Kopi TIMES

Mencegah Komersialisasi Kampus yang Semakin Nyata

Kamis, 30 Mei 2024 - 16:11
Mencegah Komersialisasi Kampus yang Semakin Nyata Kholilur Rohman, Pegiat literasi dan Murabbi di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly UIN Malang

TIMES TULUNGAGUNG, MALANG – Salah satu kewajiban pemerintah sekaligus amanah konstitusi adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka dari itu, satu-satunya cara untuk mencerdaskan warga negara adalah melalui jalur pendidikan. Tak heran jika Nelson Mandela, presiden Afrika pada masanya pernah mengatakan bahwa "Pendidikan adalah senjata terampuh untuk mengubah dunia". Maka dari itu, komitmen dan tanggungjawab pemerintah dalam memberikan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau harus terus dikawal ketat. 

Namun rupanya, komitmen dan tanggungjawab pemerintah dalam menyediakan ruang pendidikan yang berkualitas dan terjangkau perlu dipertanyakan lagi, khususnya di tingkat perguruan tinggi. Hal tersebut terbukti dari maraknya kasus demo mahasiswa tentang kenaikan UKT secara tidak wajar di beberapa hari yang lalu.

Mengembalikan Fitrah Kampus 

Seharusnya, sebagai institusi pendidikan, kampus bekerja agar menghasilkan lulusan yang cerdas. Baik cerdas akalnya, budi pekertinya, maupun sikapnya. Tugas tersebut tentu tidak mudah dan memerlukan kerja keras dari beragam pihak: dosen sebagai tenaga pendidik, rektor sebagai pembuat kebijakan, maupun dari mahasiswa sendiri sebagai pelaku pendidikan. 

Tugas dosen sebagai tenaga pengajar kampus adalah memberikan kuliah secara bermutu pada mahasiswanya. Bukan sekadar duduk, memberikan tugas, lalu pergi begitu saja. Apa itu yang dinamakan merdeka belajar sampai menghalalkan segala cara? Jelas bukan! Dosen harus memiliki kecukupan pengetahuan dan kecakapan mengajar. Hal itu sebagai dasar atas upaya pengembangan mahasiswa agar menjadi lulusan yang bermutu. 

Sementara untuk rektor sebagai pimpinan kampus, jelas yang menjadi sorotan adalah bagaimana kebijakan yang dihasilkan, bagaimana kiprah kepemimpinannya terhadap seluruh civitas akademik kampus, dan bagaimana gagasan kreatif yang dihasilkan demi memajukan perguruan tinggi yang dipimpinnya. 

Termasuk tenaga administrasi, petugas kebersihan, dan karyawan lainnya juga memiliki andil dalam pengembangan lembaga dan menciptakan lulusan yang bermutu. Bukan sekadar mencari keuntungan pribadi atau golongan dengan cara yang menurut mereka adalah bagian dari kreativitas. Kalau seperti itu, lantas apa bedanya kampus dengan pasar? Apa bedanya rektor dengan makelar? Apa bedanya dosen dengan pedagang kaki lima? 

Kesalahan sistem dan regulasi yang berjalan atas dasar komersil rupanya perlu untuk segera dibersihkan. Jangan sampai ada lagi kampus yang semena-mena menetapkan UKT. Jangan ada lagi dosen yang mengekang mahasiswa untuk membeli bukunya dengan dalih pengembangan pengetahuan, padahal hanya untuk mencari keuntungan pribadi. Dan jangan ada lagi transaksi-transaksi lainnya yang lebih mengedepankan keuntungan finansial belaka. 

Sudah saatnya kampus kembali ke fitrah. Menjadi lembaga pendidikan yang benar-benar berorientasi pada pengembangan pengetahuan dan peningkatan skill secara total. Tidak ada embel-embel tukar tambah rupiah yang mereduksi kualitas dan marwah dari kampus itu sendiri. 

Menyorot Peran Mahasiswa 

Masih lekat dalam ingatan bahwa mahasiswa memiliki lima peran yang sering digadang-gadang oleh kakak tingkat saat masa orientasi pengenalan kampus. Salah satu peran mahasiswa yang paling melekat ialah sebagai agent of change (agen perubahan). 

Perubahan yang dimaksud tentu adalah perubahan ke arah yang lebih baik, dalam segala aspek hidup. Tanpa terkecuali. Termasuk aksi demonstrasi atas kenaikan UKT yang ramai diperbincangkan banyak pihak, baik secara offline atau online. 

Kenaikan UKT yang dianggap sebagai komersialisasi kampus rupanya tak berlebihan. Selain kenaikan UKT secara brutal, tidak adanya transparansi yang jelas semakin menunjukkan bahwa pimpinan kampus hanya ingin mengeruk keuntungan berkedok akademik. Secara tidak langsung, pimpinan kampus menganggap mahasiswa adalah manusia yang manut-manut saja. Jangan salah, tidak semua mahasiswa seperti itu! 

Dengan beban UKT yang terlampau tinggi dan lingkungan serba komersil, bagaimana mahasiswa bisa bebas bergembira dalam mengeksplor ilmu pengetahuan, sementara di dalam pikirannya ada beban ekonomi yang begitu berat. Beban yang menghalangi proses berpikir kreatif mahasiswa dalam meningkatkan kompetensi diri sesuai dengan jurusan masing-masing. 

Terakhir, setelah banyak mahasiswa dari beragam kalangan melakukan protes kenaikan UKT, kemudian putusan kenaikan UKT dibatalkan untuk tahun ini, lantas apa yang akah terjadi selanjutnya? Mari kita nantikan kebijakan pemerintah dan peran mahasiswa selanjutnya sebagai agen perubahan.

***

*) Oleh : Kholilur Rohman, Pegiat literasi dan Murabbi di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly UIN Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Tulungagung just now

Welcome to TIMES Tulungagung

TIMES Tulungagung is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.